Monday, February 16, 2009

Analisis Penerapan Collision Regulation 1972 Terhadap Keselamatan Pelayaran Kapal Milik PT Serunting Sriwijaya Palembang Tahun 2007

Parlin Hobbystar H


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerapan Collision Regulation 1972 Terhadap keselamatan pelayaran

Indonesia adalah untuk membantu dalam meningkatkan keterampilan dan

kecakapan semua perwira dan nahkoda Indonesia dalam menghindari bahaya

tubrukan di laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki armada ang

kutan laut antar pulau yang jumlahnya cukup besar sehingga Presiden Republik

Indonesia Mengeluarkan Keputusan No. 50 Tahun 1979 yang terdapat di

lampiran.

Convention On The International Regulations For Preventing Collisions At Sea 1972 yang secara umum disebut sebagai Collision Regulation 1972 atau disingkat dengan COLREG 1972, jika dalam bahasa Indonesia nya dikenal sebagai Peraturan Internasional Mencegah Tubrukan di Laut ( PIMTL ) tahun 1972 adalah merupakan Resolusi International Maritime Organization ( IMO ) nomer A. 464 ( XII ) tentang peraturan yang berlaku secara internasional dan harus dipatuhi serta dilaksanakan secara utuh oleh semua kapal, pemilik kapal, Nakhoda, dan awak kapal agar tidak terjadi kecelakaan dilaut. Collision Regulation 1972 ditandatangani oleh semua anggota International Maritime
Organization pada bulan Oktober 1972 di London dan Indonesia adalah

merupakan salah satu dari 47 negara yang ikut serta didalam penandatanganan

tersebut.
Collision Regulation 1972 mulai berlaku pada tanggal 15 Juli 1977 untuk menggantikan Collision Regulation 1960 yang sudah tidak sesuai lagi sehingga diperlukan adanya perubahan dan penambahan yang sesuai dengan :
1. Resolusi Intergovernmental Maritime Consultative Organization (IMCO ) A.466 ( XII ) tanggal 19 November 1981 yang berlaku mulai tanggal 19 November 1983.
2. Resolusi International Maritime Organization ( IMO) A.626 ( XV ) tanggal 19 November 1987 yang berlaku mulai tanggal 19 November 1989.
3. Amandemen tahun 1993.

Tujuan penerapan Collision Regulation 1972 yang terdiri dari 38 aturan dan 4 lampiran tersebut adalah untuk mencapai keselamatan kapal, awak kapal, penumpang, muatan serta dapat mencegah terjadi nya pencemaran laut dan hal tersebut menjadi tanggung jawab nakhoda serta awak kapalnya.
Human error merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan laut terbesar yang selama ini terjadi di Indonesia, dalam banyak kasus yang seharus nya bisa mencegah kecelakaan itu adalah mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas navigasi diatas kapal - kapal yang dimaksud, oleh sebab itu didalam mengemban tugas - tugas nya seorang Nakhoda kapal hams memahami dan menerapkan Collision Regulation 1972 secara utuh, begitu juga dengan perwira jaga navigasi yang ketika melaksanakan dinas jaga laut adalah sebagai wakil dari Nakhoda dan tanggung jawab nya setiap waktu adalah melaksanakan tugas jaga nya dengan seksama serta memastikan bahwa pengawasan yang efisien selalu terpelihara untuk mencegah terjadi nya kecelakaan di laut.
Sejalan dengan perkembangan tehnologi dunia dibidang perkapalan dan pelayaran, dimana jumlah kapal - kapal niaga dari berbagai jenis dan ukuran serta kecepatan nya terns meningkat, maka faktor keselamatan pelayaran menjadi persyaratan utama didalam mengoperasikan kapal - kapal. Dalam hal ini setiap Nakhoda dan perwira jaga navigasi hams dapat mengambil langkah - langkah
yang tepat didalam mencegah terjadi nya bahaya - bahaya dilaut seperti bahaya kapal kandas, bahaya tubrukan dan sebagai nya. Berdasarkan laporan hasil penelitian oleh Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Inggris yang berjudul "Major Marine Collisions and Effects of Prevention Recommendations" tertanggal 9 September 1981 menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya tubrukan dilaut dari tahun 1970 hingga tahun 1979 adalah karena kesalahan manusia ( Human Error)
International Chamber of Shipping ( ICS ) dalam laporan nya nomer 15, Januari 1996 tentang `Kecelakaan Navigasi' menyimpulkan sebab - sebab kecelakaan laut, baik itu tubrukan maupun kekandasan kapal dari berbagai penyelidikan pada tingkat internasional. Ada 2 faktor penyebab utama nya yaitu :
1. Kegagalan dalam memelihara suatu tugas bernavigasi yang memadai.
2. Kelemahan dalam penampilan organisasi anjungan.

Tidak ada bukti yang menunjukkan kekurangan yang serius dari perwira jaga navigasi yang berhubungan dengan pelatihan dasar untuk keahlian bernavigasi maupun kemampuan untuk menggunakan instrumen - instrumen dan peralatan navigasi, kecelakan laut itu terjadi karena kesalahan manusia yang mana semua manusia cenderung berbuat kesalahan dalam suatu situasi dimana tidak ada
petugas navigasi yang secara terus menerus mampu mendeteksi sebelum sebuah kecelakaan terjadi, oleh sebab itulah maka penulis terdorong untuk melakukan
penelitian dan menyusun nya dalam bentuk skripsi dengan judul :

“Analisis Penerapan Collision Regulation 1972 Terhadap Keselamatan Pelayaran Kapal Milik PT Serunting Sriwijaya Palembang Tahun 2007”

B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh perwira jaga navigasi ketika melaksanakan tugas jaga Laut, terutama yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran, adapun identifikasi masalah nya yaitu :
a. Masalah kurang nya pemahaman tentang Collision Regulation 1972 yang terdiri dart 38 aturan dan 4 lampiran.
b. Masalah tidak diterapkannya Collision Regulation 1972 secara benar.

c. Masalah kurang nya pengetahuan tentang komputerisasi yang berkaitan dengan peralatan bantu navigasi yang saat ini serba canggih yang diatur didalam Collision Regulation 1972.
d. Masalah kurang menguasai bahasa Inggris dengan baik, mengingat bahasa Inggris adalah sebagai alat komunikasi yang bersifat intemasional dan sebagai instruksi manual di kapal.
e. Masalah keterbatasan jumlah buku navigasi yang tersedia diatas kapal
f. Masalah kurang nya fasilitas alat navigasi moderen yang ada diatas
kapal.
g. Masalah kurang profesionalisme dan kualitas sumber daya pelaut Indonesia yang sesuai dengan konvensi internasional Seafarers Training Certification and Watchkeeping ( STCW ) amandemen 1995.
h. Masalah kurang nya pengaturan efektivitas tugas jaga anjungan yang berdasarkan pada Bridge Team Management Principles.
i. Masalah kurangnya sumber daya manusia yang ada diatas kapal sehingga timbul kejenuhan, kelelahan fisik dan mental serta stres.
j. Masalah pengaruh pada stabilitas kapal yang kurang baik.
k. Masalah adanya error pada alat-alat navigasi kapal yang belum dikoreksi.
2. Batasan masalah

Karena adanya keterbatasan waktu, tenaga, dana, buku-buku referensi dan teori-teori yang ada, maka tidak semua masalah yang telah di identifikasi akan diteliti sehingga perlu dibatasi agar penelitian ini dapat dilakukan secara lebih mendalam, untuk itu maka penulis menetapkan batasan masalah hanya pada hubungan penerapan Collision Regulation 1972 (variabel bebas ) terhadap keselamatan pelayaran ( variabel terikat ) pada kapal — kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang .

3. Rumusan masalah

Supaya masalah dapat terjawab secara akurat, maka masalah yang akan diteliti perlu dirumuskan secara spesifik oleh penulis, yaitu :
a. Apakah penerapan Collision Regulation 1972 pada kapal kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang ?
b. Apakah tingkat keselamatan pelayaran pada kapal-kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang ?
c. Apakah ada hubungan antara penerapan Collision Regulation 1972 terhadap keselamatan pelayaran milik PT.Serunting Sriwijaya Palembang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Collision Regulation 1972 oleh perwira jaga navigasi yang bertugas di kapal-kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis keselamatan pelayaran yang dilakukan PT. Serunting Sriwijaya Palembang ?
c. Untuk mengetahui hubungan penerapan Collision Regulation 1972 dengan keselamatan pelayaran.
2.Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan nya serta mampu mempraktekkan teori-teori yang didapat selama mengikuti pendidikan.
b. Bagi perusahaan, dapat digunakan sebagai bahan masukan ( acuan ) serta sumbangan pemikiran didalam mengambil suatu keputusan perusahaan yang lebih bijaksana dimasa yang akan datang.
c. Bagi lembaga ( STMT Trisakti ) dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan sumbangan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai data dokumentasi perpustakaan STMT Trisakti.

D. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan sumber data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dalam bentuk angket dan data kuantitatif yang diangkakan dengan menggunakan skala pengukuran, adapun sumber data nya adalah sumber primer dan sumber sekunder dengan mengukur angket di lapangan merupakan data dokumentasi perusahaan.
2. Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perwira jaga navigasi yang bekerja di kapal-kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang dan sebagai sampel nya diambil 40 perwira jaga navigasi yang juga bertugas di kapal kapal milik PT. Serunting Sriwijaya Palembang.
3. Tehnik Pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini antara lain adalah :
a. Riset lapangan ( field research )
Untuk memperoleh data primer melalui riset lapangan, maka penulis menggunakan teknik kuesioner dengan menunjuk skala Likert yang di bagikan penulis kepada 30 responden sebagai sampel dalam penelitian ini.
b. Riset kepustakaan ( library research )
Agar skripsi ini tidak menyimpang jauh dari teori-teori yang ada dan untuk memperoleh data sekunder guna melengkapi data-data yang sudah tersedia, maka dalam riset kepustakaan ini penulis menggunakan beberapa buku, kamus dan perpustakaan.

4. Teknik analisis data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah rumus-rumus statistik sebagai berikut :
A. Analisis regresi linier sederhana.
Regresi linier didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu
variable independent dengan satu variable dependen.persamaan umum
regresi linier sederhana adalah:

Y = a + bX
Dimana :
sumber : Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi ( 2005: 237 )

X = Subyek dalam variabel independen ( mempunyai nilai tertentu )
Y = Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a = Harga Y bila X = 0 ( Konstanta )
b = Koefisien regresi
Adapun rumus untuk mencari nilai a dan b adalah sebagai berilcut:


a = (∑Y) (∑X2)- (∑Y) (∑XY) Somber : Sugiyono, Metode Penelitian.
Administrasi ( 2005 : 238 )
∑X2- (∑X) 2

b = n ∑XY) - (∑X) (∑Y) Sumber : Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi ( 2005 : 239 )
n∑X2- (∑X) 2




B.Koefisien korelasi Pearson Product Moment.

Untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variable indevenden

Dengan satu dependen.

n ∑XY) - (∑X) (∑Y)\
√ {n∑X2- (∑X) 2} √ n∑Y2- (∑Y) 2}
Sumber : Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi ( 2005 : 212 )
Dimana :
n = Jumlah responden r = Koefisien Korelasi
X = Skor pertanyaan
Y = Skor total
Kesimpulan :
1. Jika r = 0 berarti tidak ada hubungan antara X dan Y
2. Jika r = +1 atau mendekati +1 berarti ada hubungan antara X dan Y positif dan sangat kuat
3. Jika r = -1 atau mendekati -1 berarti ada hubungan antara X dan Y sangat kuat tetapi negatif
Untuk dapat memberi interpretasi terhadap kuat nya hubungan itu, maka penulis menggunakan pedoman seperti yang tertera pada tabel berikut ini :
Tabel VIII
Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 — 0,199 Sangat rendah
0,20 — 0,399 Rendah
0,40 — 0,599 Sedang
0,60 — 0,799 Kuat
0,80 — 1,000 Sangat kuat
Sumber data : Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi ( 2005: 214 )
C. Koefisien penenentu ( KP )
Setelah nilai koefisien korelasi ( r ) didapat, maka koefisien penentu nya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
KP = r2. 100 %
Tujuan koefisien penentu untuk mencari berapa kontribusi variable X terhadap
variable Y.
Sumber : Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi ( 2005 : 215 )
Dimana :
KP = Koefisien Penentu
r = Koefisien Korelasi
D. Uji hipotesis
Untuk menguji signifikasi hubungan, yaitu apakah hubungan yang ditemukan itu berlaku untuk seluruh populasi, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan rumus uji signifikasi korelasi product moment yaitu :


r . √ ( n — 2 )
√ ( 1 — r2 )

Harga t hitung tersebut selanjutnya dibandingkan dengan harga, t tabel ( lampiran 3 ), taraf kesalahan (a) 5%, uji dua fihak ('/2a) dan dk, = n - 2 Dalam penelitian ini berlaku hipotesis statistik sebagai berikut :
Ho : p = 0 ( tidak ada hubungan )

Ho : p ≠ 0 ( ada hubungan )


E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan hasil sementara suatu penelitian yang harus di uji kebenarannya, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan penerapan Collision Regulation 1972 dengan keselamatan pelayaran, dengan kata lain apabila Collision Regulation 1972 diterapkan dengan baik maka tingkat keselamatan pelayaran akan semakin tinggi.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami isi skripsi secara keseluruhan, maka penulis membagi skripsi ini dalam 5 bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah yang meliputi pembatasan-masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis, metode penelitian serta sistematika penulisan skripsi.
Bab II Landasan Teori
Menguraikan teori yang berkaitan dengan variable penelitian dan teori lain yang terkait.
Bab III Gambaran Umum PT.Serunting Sriwijaya Palembang.
Penulis akan menguraikan sejarah singkat, organisasi dan manajemen
serta kegiatan dan perkembangan PT.Serunting Sriwijaya Palembang.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Pada bab ini yang dibahas oleh penulis adalah masalah-masalah yang diungkapkan dalam perumusan masalah dan masalah-masalah tersebut akan dianalisis dengan teori dan alat analisis yang telah dipilih dan ditentukan oleh penulis.

Bab V Penutup

Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil dari Bab IV yaitu analisis dan pembahasan,dan saran – saran yang mungkin bermanfaat.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Collision Regulation 1972
The International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972 atau yang biasa disingkat dengan Collision Regulations ( COLREG ) 1972 adalah suatu internasional untuk mencegah terjadi nya tubrukan dilaut.
Mengenai hal tersebut Soerjono HS ( 1998 : 1 ) menjelaskan : Collision Regulation 1972 merupakan Suatu peraturan internasional yang berlaku di laut bebas ( lepas atau internasional ) ; di perairan yang ada hubungannya dengan laut bebas ; di perairan yang dapat dilayari oleh kapal-kapal laut dan di perairan dimana negara yang memiliki wilayah tersebut tidak mengatur lain.
"Laut Bebas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif dalam laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan" ( Mochtar Kusuma Atmaja. 1998: 17 ).
Didalam aturan 2 Collision Regulation 1972 dinyatakan bahwa Collision Regulation 1972 ini hams dilaksanakan dan ditaati secara utuh oleh kapal atau pemilik kapal, Nakhoda atau awak kapal untuk mencegah terjadinya resiko kecelakaan dilaut.
Mengenai hal tersebut Hadi Utomo ( 2000 : 3 ) menjelaskan bahwa Perusahaan adalah Pemilik kapal atau organisasi lain atau seorang manajer atau pencarter yang menerima tanggung jawab pengoperasian kapal dan telah menyetujui untuk mengambil alih semua tugas — tugas serta tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Pemilik kapal ( Pengusaha Kapal ) ialah seseorang atau Badan Hukum yang memiliki kapal untuk pelayaran dilaut dengan membawa sendiri atau menyuruh nakhoda" ( Soerjono HS. 1998 : 3 ).
"Pemilik Kapal ( Pengusaha Kapal ) adalah Seseorang atau badan hukum, yang mengusahakan kapal untuk pelayanan di Taut, dengan melakukan sendiri atau menyuruh lorang lain melakukan pelayaran itu sebagai Nakhoda" ( Hadi Utomo. 2000: 2 ).
Sebuah perusahaan pelayaran pada umumnya melakukan pelayaran untuk mencari keuntungan di Taut dari pelayanan kapal-kapal nya, perusahaan pelayaran dikelola oleh seorang atau beberapa usahawan, dimana usahawan inilah yang merupakan pengusaha kapal atau mungkin sekaligus sebagai pemilik kapal, tetapi hal ini tidaklah mutlak sebab kadang kala pemilik kapal itu bukannya seorang pengusaha kapal.
Para Nakhoda dan anggota awak kapal dari perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kewajiban yang diberikan adalah untuk keselamatan pengoperasian kapal.
"Nakhoda adalah pemimpin tertinggi dan pemegang kewibawaan umum diatas kapal" ( Hadi Utomo 2000 : 2 ).
"Nakhoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum diatas kapal yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku"
( Soerjono Hs. 1998 : 4 ).
Kinerja seorang pemimpin ( leader ) adalah mempunyai kemampuan untuk menciptakan visi yang mengandung kewajiban untuk mewujudkannya dengan membawa orang lain ketempat yang bare yang mempunyai kemampuan untuk mewujudkan visinya kedalam kenyataan, apa yang dilakukan pemimpin adalah menginspirasikan dan memberdayakan orang lain untuk mewujudkan visinya, menarik orang lain bukan berarti mendorong orang lain.

Pemimpin juga harus membuat tujuan perusahaan dengan menciptakan dan memeliharr lingkungan internal kapal yang membuat semua personel terlibat dalam pencapaian sasaran perusahaan.
"Pemimpin adalah seseorang yang dapat membakar semangat anak buahnya dan memimpin mereka untuk dapat melalui rintangan - rintangan dalam mencapai tujuan mereka" ( Sri Budi Cantika Yuli. 2005: 166 ).
Saat ini semakin disadari bahwa asset yang termahal dan terpenting perusahaan adalah manusia, yaitu karyawan ( awak kapal ) nya, maka wajarlah apabila perencanaan dan pembinaan tenaga kerja perusahaan mendapatkan pemikiran dan penanganan yang sungguh - sungguh sebab jika tidak, maka masa depan perusahaan bisa jadi tidak menentu.
Hal ini lebih beralasan lagi mengingat pesatnya kemajuan tehnologi dan sulitnya mencari tenaga-tenaga terampil dan berdedikasi.
"Awak Kapal adalah semua orang yang melakukan dinar diatas kapal dan disijilkan dalam buku sijil termasuk nakhoda" ( Hadi Utomo. 2000: 6 ).
"Awak Kapal adalah orang-orang yang bekerja atau dipekerjakan diatas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas diatas kapal sesuai dengan jabatan nya yang tercantum didalam buku sijil " (Soerjono HS. 1998 : 4 ).
Graham Danton ( 2002: 303 ) menjelaskan : This rule is extremely important, `Due regard to all dangers of navigation and collision' refers among other things to cases where vessels are unable to take their stipulated avoiding action due to the proximity of other vessels or the coast, reefs, etc. In such cases the priv to cases where vessels are unable to take their stipulated avoiding action due to the proximity of other vessels or the coast, reefs, etc. In such cases the privileged vessel should assist matters by taking ( and indicating) early and substantial action to avoid collision. The rule says a departure may be necessary and thus the privileged vessel should assess wheather or not there is an onus updk her to keep clear. 'Limitations of the craft' must surely draw attention to the vessels mentioned in rules 24, 26 and 27. The inference in rule 2 is, in my opinion, that literal qbiervance of the rules is certainly not intended when vessels are encountered which are hampered, disabled or encumbered in any way whatsoever ".Maksudnya adalah Collision Regulation 1972 dinilai sangat ekstrim serta penting, didalam Collisio Regulation 1972 pada aturan 2 menyebutkan bahwa semua aturan-aturan yang ada didalamnya harus dilaksanakan sepenuhnya oleh kapal atau pemilik kapal, Nakhoda atau awak kapal namun tetap dapat menyimpang dari aturan-aturan yang ada didalam Collision Regulation 1972 dalam hal menghindar dari bahaya yang sifatnya mendadak, seperti bahaya navigasi, bahaya tubrukan dan setiap keadaan khusus termasuk keterbatasan kapal yang bersangkutan, misalnya didalam aturan 24 adalah tentang kapal tunda, dorong dan gandeng yang sedang menunda, mendorong dan menggandeng ; aturan 26 adalah tentang kapal ikan yang sedang menangkap ikan dengan alat¬alat penangkap ikan yang dapat membatasi kemampuan olah gerak kapal ikan yang bersangkutan ; aturan 27 adalah tentang kapal yang terbatas kemampuan olah gerak nya seperti kapal navigasi yang sedang memasang, merawat atau mengangkat rambu navigasi, kabel laut ( pipa laut ) ; kapal keruk yang sedang mengeruk atau melakukan kegiatan didalam air ; kapal induk yang sedang meluncurkan ( melandaskan ) pesawat terbang ; kapal penyapu ranjau yang sedang melakukan tugas pembersihan ranjau dan sebagainya.Adapun maksud dari contoh diatas adalah misalnya kapal kita sebagai previledge vessel ( kapal yang seharusnya mempertahankan laju dan haluan ) lalu bertemu dengan suatu skuadron kapal perang dalam keadaan haluan berpotongan, maka dalam hal ini kapal kita boleh menyimpang dari aturan 15 yaitu : bilamana dua buah kapal tenaga dalam situasi bersilangan sehingga mengakibatkan bahaya tubrukan, maka kapal yang melihat lambung kiri kapal lain harus menyimpang dan jika keadaannya mengijinkan, maka tidak boleh memotong didepan kapal lain itu demi keselamatan pelayaran atau jika kapal kita dalam situasi saling berhadap hadapan dengan kapal lain tetapi disebelah kanan kapal kita terdapat bahaya-bahaya navigasi atau kapal lain, maka dalam hal ini kapal kita boleh menyimpang dari aturan 14 yaitu : bilamana dua buah kapal tenaga bertemu dengan haluan saling berhadapan sehingga menyebabkan bahaya tubrukan, maka masing - masing kapal harus merubah haluannya kekanan sehingga sating berpapasan pada lambung kirinya demi keselamatan pelayaran .Untuk lebih memperjelas uraian diatas, maka penulis akan menjabarkan istilah- istilah yang terdapat didalam uraian tersebut sesuai dengan teori-teori yang ada agar lebih mudah untuk dimengerti dan dipahami : "Kapal adalah meliputi semua jenis pesawat air termasuk pesawat yang tidak memindahkan air dan pesawat - pesawat terbang taut yang dipakai atau dapat dipakai sebagai alat pengangkutan diatas air"( Tim BPLP Semarang. 1999 : 3 ). "Kapal adalah mencakup setiap jenis kendaraan air termasuk kapal tanpa benaman ( displacement) dan pesawat terbang taut, yang digunakan ( dapat digunakan ) sebagai sarana angkutan di air" ( EW. Manikome. SP.1. 2004 : 65 )"Pesawat Terbang Laut berarti setiap pesawat terbang yang dirancang untuk dapat mengolah gerak diatas air" ( Tim BPLP Semarang. 1999: 3 )."Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut, sungai dan sebagainya" ( RP. Suyono. 2005: 115 ).Istilah kapal yang tidak dapat dikendalikan (dikemudikan) berarti kapal yang oleh sesuatu keadaan tertentu tidak mampu mengolah gerak seperti yang disyaratkan oleh Collision Regulation 1972 sehingga tidak mampu menyimpangi jalan nya kapal lain. Mengenai hal ini Graham Danton ( 2002 : 303 ) menjelaskan : The term vessel not under command means a vessel which through some exeptional circumstance is unable to manoeuvre as required by these rules and is therefore unable to keep out of the way of another vessel.Istilah kapal yang terbatas kemampuan olah gerak nya berarti sebuah kapal yang disebabkan karena sifat pekerjaan nya sehingga tidak mampu mengolah gerak sesuai dengan yang syaratkan Collision Regulation 1972 sehingga tidak mampu untuk menyimpangi kapal lain nya. Mengenai hal ini Graham Danton (2002 : 304 ) menjelaskan : The term vessel restricted in her ability to manoeuvre means a vessel which from the nature of her work is restricted i her ability to manoeuvre as required by these rules and is therefore unable to keep out of the way of another vessel.Istilah kapal yang terkekang oleh sarat nya berarti kapal tenaga yang karena sarat nya sehubungan dengan kedalaman air yang ada sehingga menyebabkan kemampuan nya sangat terbatas untuk menyimpang dari haluan yang diikuti nya. Mengenai hal ini Graham Danton ( 2002 : 304) menjelaskan : The term vessel constrained by her draught means a power driven vessel which because of her draught in relation to the available depth of water is saverely restricted in her ability to deviate from the course she is following."The word underway means that a vessel is not at anchor, or made fast to the shore or aground' ( A.N. Cockcroft & J.N.F. Lameijer. 1999 : 2 ).Yang artinya adalah kata berlayar berarti bahwa kapal tidak berlabuh jangkar, tidak diikat pada daratan dan tidak kandas.Istilah kapal yang berlaju dapat pula diartikan sebagai kapal yang sudah mempunyai laju atau kecepatan sehingga kapal yang melaju ini dapat dikategorikan sebagai kapal yang terapung-apung atau tidak terikat, tidakberlabuh dan tidak kandas.Bagi kapal-kapal yang menggunakan jangkar nya untuk memutar kapal ; mengarea jangkar dan rantai nya untuk menahan haluan atau kapal berlabuh tetapi jangkar nya menggaruk ( terseret ), maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori kapal yang berlabuh jangkar tetapi dianggap berlayar.
Kapal yang sedang berlabuh jangkar adalah kapal yang jangkarnya makan terhadap dasar laut.
"Vessels shall be deemed to be in sight of one another only when one can be observed visually from the other " ( A.N. Cockcroft & J.N.F. Lameijer. 1999 : 3 ).
Yang artinya kapal - kapal harus dianggap saling melihat satu sama lainnya hanya bilamana yang satu dapat dilihat oleh yang lain secara visual.
Adapun yang dimaksud dengan istilah secara visual artinya adalah secara nyata, jadi tidak diketahui ( dideteksi ) dari radar.
"The term restricted visibility means any condition in which visibility is restricted by fog mist, falling snow, heavy rain storms, sand storms or any other similar causes" ( A.N. Cockcroft & Lameijer. 1999 : 2 ).
Yang artinya istilah tampak terbatas adalah setiap kondisi dimana penglihatan dibatasi oleh kabut, halimun, turunnya salju, hujan badai lebat, badai pasir atau sebab-sebab lain yang serupa.
Jadi yang dimaksud dengan tampak terbatas disini bukan berarti tampak terbatas karena muatan sehingga mengganggu penglihatan.
"Istilah kecepatan aman ( menggantikan istilah kecepatan sedang ) adalah suatu
kecepatan yang digunakan untuk menghalangi penggunaan kecepatan
tinggi dalam keadaan yang sesuai" ( Soerjono HS. 1998: 7 ).
Kata `aman` disini dimaksudkan dalam pemikiran yang relatif dimana setiap kapal, diharpkan akan melaju dengan sebuah kecepatan yang cukup sehingga dapat dianggap aman dalam keadaan khusus.
Istilah sedang menangkap ikan berarti flap kapal yang sedang menangkap ikan dengan jaring, dogol atau alat penangkap ikan lain nya yang membatasi kemampuan olah gerak nya tetapi tidak termasuk sebuah kapal yang menangkap ikan dengan pancing atau alat penangkap ikan yang lain yang tidak membatasi kemampuan olah gerak nya. Mengenai hal ini Captain Raymond F. Farwell ( 2001: 5 ) menjelaskan : The term vessel engaged in fishing means any vessel fishing with nets, lines, trawls or other fishing apparatus which restrict manoeuvrability, but does not include a vessel fishing with trolling lines or other fishing apparatus which do not restrict manoeuvrability.
"The term power — driven vessel means any vessel propelled by machinery" (Raymond F. Farwell. 2001 : 5 ).
Yang artinya : Istilah kapal tenaga adalah setiap kapal yang digerakkan dengan tenaga mesin.
Setiap kapal Taut harus dilengkapi dengan lampu - lampu penerangan navigasi. Mengenai hal ini Soerjono HS ( 1998 : 17 ) menjabarkan secara terperinei tentang jenis - jenis penerangan navigasi dengan penjelasan sebagai berikut : Tenerangan tiang' berarti sebuah penerangan putih yang ditempatkan pada bidang Tunas linggi dan memperlihatkan cahaya yang tidak terputus meliputi busur cakrawala 225° dan dipasang sedemikian rupa sehingga memperlihatkan cahaya lurus kemuka sampai 22%* dibelakang arah melintang pada setiap nisi . `Penerangan lambung' berarti sebuah penerangan hijau di lambung kanan dan sebuah penerangan merah di lambung kiri, masing - masing memperlihatkan cahaya yang tidak terputus meliputi busur cakrawala 112W dan dipasang sedemikian rupa sehingga memperlihatkan cahaya dari lurus ke muka sampai 22W dibelakang arah melintang pada masing - masing sisi .
Tenerangan buritan' berarti sebuah penerangan putih yang ditempatkan sedapat mungkin yang dapat dilaksanakan di buritan memperlihatkan cahaya yang tidak terputus meliputi busur cakrawala 135° dan dipasang sedemikian rupa sehingga memperlihatkan cahaya 67W dari lurus kebelakang pada setiap sisi .Tenerangan tunda' berarti sebuah penerangan kuning yang mempunyai ciri- ciri yang sama dengan penerangan buritan .
Penerangan keliling berarti sebuah penerangan yang memperlihatkan cahaya tidak terputus meliputi busur cakrawala 360° .
`Penerangan cerlang' berarti sebuah penerangan yang berkedip dengan selang beraturan pada frekwensi 120 kedipan atau lebih setiap menit.
Setiap kapal harus dilengkapi dengan alat - alat isyarat bunyi. Mengenai hal ini Soerjono Hs ( 1998: 20 ) menjelaskan sebagai berikut :
Istilah 'gag' berarti setiap alat isyarat yang dapat menghasilkan tiupan-tiupan yang diatur dan memenuhi perincian perincian dalam aturan tambahan didalam Collision Regulation 1972.
Istilah `tiup pendek' berarti tiupan yang lamanya kurang lebih satu detik. Istilah `tiupan panjane berarti tiupan yang lamanya 4 sampai 6 detik.
"Alur pelayaran sempit adalah suatu slur pelayaran yang mempunyai lebar tidak lebih dari 125 meter" ( Soerjono HS. 1998 : 24 ).
Setiap tata lalu lintas laut yang disyahkan dan disetujui oleh International Maritime Organization ( IMO ) akan disiarkan melalui Notice To Marine ( NTM), terwujud nya aturan 10 tentang bagan pemisah lalu lintas adalah merupakan realisasi dari kejadian - kejadian tubrukan yang hebat di Selat Dover tahun 1961 dimana aturan sebelum nya tidak ada.
Mengenai aturan 10 tersebut Soerjono HS ( 1998 : 25 ) menjelaskan :Bagan pemisah tata lalu lintas laut adalah sebuah bagan ( skema ) yang memisahkan lalu lintas laut yang berlayar dengan arah yang berlawanan atau hampir berlawanan dengan memasuki sebuah garis atau daerah pemisah, jalur - jalur lalu lintas atau dengan cara lain.
Sepanjang keadaan mengijinkan, sebuah kapal harus menghindari untuk memotong jalur lalu lintas tersebut karena dapat mengganggu pola anus lalu lintas dan memperbesar resiko pelanggaran.
Jalur lalu lintas merupakan suatu daerah dengan batas - batas yang jelas dimana ditetapkannya lalu lintas searah.Kebanyakan bagan pemisah tata lalu lintas laut
telah digunakan daerah - daerah pemisah diantara jalur - jalur untuk memisahkan lalu lintas yang menuju searah dan yang berlawanan.
Adapun yang dimaksud dengan daerah atau garis pemisah adalah sebuah daerah atau sebuah garis yang memisahkan lalu lintas yang menuju kesebuah arah dengir lalu lintas yang menuju kearah lain .
Sebuah daerah pemisah dapat dipakai diantara jalur lalu lintas dan sebuah daerah dekat pantai, daerah - daerah ini hanya boleh dipakai dan digunakan oleh kapal - kapal yang memotong daerah yang termasuk dalam bagan pemisah tata lalu lintas seperti : kapal penangkap ikan dan kapal - kapal yang dalam keadaan darurat untuk menghindari bahaya yang mendadak.
Kebanyakan di bagan - bagan pemisah lalu lintas ditetapkan daerah - daerah lalu lintas dekat pantai dengan maksud agar supaya kapal - kapal pantai terpisah dari lalu lintas langsung pada jalur - jalur lalu lintas yang berdekatan, daerah - daerah demikian mungkin agak sempit dan dapat menjadi daerah yang berbahaya jika digunakan secara luas dan berlayar dengan arah yang berlawanan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah lalu lintas dekat pantai adalah sebuah daerah yang ditunjuk antara batas bagan pemisah tata lalu lintas laut sebelah darat dengan pantai yang berdekatan, yang dimaksud untuk digunakan bagi lalu lintas menyusuri pantai .
Menurut isi dan aturan 10, sebuah kapal yang menggunakan bagan pemisah adalah kapal yang berlayar didalam batas — batas luar dari bagan dap tidak memotong atau melakukan penangkapan ikan didalam sebuah daerah pemisah, sedangkan bagi sebuah kapal yang menggunakan daerah lalu lintas dekat pantai dianggap tidak mengikuti bagan pemisah lalu lintas