Wednesday, June 3, 2009

STANDARISASI PERUSAHAAN PELAYARAN KAPAL TANGKER

TUGAS MAKALAH MANAJEMEN MUTU
RINDHO RIYONO
244 308 011
ALIH PROGRAM BP3IP-STMT TRISAKTI


STANDARISASI PERUSAHAAN PELAYARAN KAPAL TENGKER
A. PERTUMBUHAN PERUSAHAAN PELAYARAN
Bagi pelaku usaha pelayaran dalam negeri, Maret lalu merupakan saat yang istimewa. Pasalnya, pada bulan itu, tepatnya tanggal 28, Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional genap berumur tiga tahun. Berbicara tentang keistimewaan, Inpres tersebut memang istimewa. Di dalamnya dimuat prinsip cabotage. Secara umum cabotage berarti pengangkutan barang di dalam negeri/antar-pulau dilaksanakan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Negara-negara lain sudah menjalankan kebijakan ini bertahun-tahun lalu. Kehadiran inpres no. 5 tahun 2005 ternyata terbukti cukup sakti. menurut data direktorat jenderal perhubungan laut (ditjen hubla) tahun 2007, empat belas bulan pasca pemberlakuan inpres no. 5/2005 terjadi kenaikan jumlah armada kapal nasional sebesar 911 unit atau 15 persen dari jumlah sebelumnya. armada kapal nasional sebelum dikeluarkannya peraturan itu berjumlah 6.041 kapal dan setelah inpres diterbitkan bertambah menjadi 6.952 kapal. dalam ukuran tonase, armada kapal nasional telah bertumbuh dari 5,66 juta gross ton menjadi 6,8 juta gross ton.
Pertumbuhan yang rapuh
Hanya saja, jika diteliti lebih mendalam, pertumbuhan yang ada menyimpan kerapuhan. Dari manakah kapal sebanyak 911 unit tadi berasal? Perusahaan pelayaran mana yang membeli/mengadakannya? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena kendati Inpres No. 5/2005 telah memerintahkan kalangan perbankan dalam negeri memberi dukungan kredit/permodalan kepada bisnis pelayaran domestik, tapi tetap saja pada prakteknya bank-bank dalam negeri masih enggan memberikan kredit berskema lunak kepada perusahaan pelayaran nasional. Inilah persoalan terbesar yang belum bisa diselesaikan dengan terbitnya peraturan itu. Perbankan belum mengubah persyaratan pinjaman yang cukup berat yakni nilai collateral (jaminan) 150 persen dan debt equity ratio 65 persen-35 persen. Alasannya, industri ini berisiko tinggi, lambat dalam pengembalian pinjaman dan memiliki kredibilitas rendah. Dan, bagi mereka kapal bukan aset yang likuid.
Di samping jaminan tadi, perusahaan pelayaran juga harus menyiapkan pembiayaan internal (self financing) berkisar antara 30 persen – 35 persen dengan waktu pinjaman pendek, maksimum lima tahun.Seharusnya dengan adanya Inpres No. 5/2005 kredit bagi pelayaran tidak disamakan dengan sektor lain. Shipping is a capital-intensive business. Angka ideal suku bunga kredit untuk pelayaran sebaiknya berkisar antara 7 persen-8 persen.
B. Gagasan open registry
Lantas adakah alternatif kebijakan lain untuk meningkatkan jumlah kapal berbendera Indonesia selain melalui kebijakan fiskal? Ya, ada. Kendati bukan gagasan baru, nampaknya pemerintah perlu memikirkan dengan serius ide menerapkan kebijakan registrasi terbuka (open registry) bagi pemilik kapal yang ingin mendaftarkan kebangsaan kapalnya. Ide ini telah pernah dikemukakan oleh berbagai kalangan pada dekade 80-an hingga 90-an tapi tidak bersambut karena berbagai alasan.
Open registry adalah kebijakan negara bendera (flag state) memberikan kesempatan kepada pemilik kapal dari seluruh dunia, tidak terbatas hanya kepada warga negara bersangkutan, untuk memakai benderanya. Biasanya kebijakan ini diikuti dengan menyediakan berbagai perlakuan khusus atau kemudahan. Tetapi, jika Indonesia ingin menerapkan open registry, kemudahan yang diberikan harus terbatas pada bidang pajak, kepastian hukum dan lainnya. Jangan sampai kemudahan itu mengorbankan aspek keselamatan dan kondisi kerja bagi pelaut.
Sebetulnya banyak negara yang menerapkan kebijakan open registry untuk meningkatkan jumlah armadanya tanpa perlu mengorbankan aspek keselamatan dan kondisi kerja pelaut. Belanda dan Norwegia adalah dua negara yang menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan itu ditempuh menyusul merosotnya jumlah armada sementara jumlah orang Belanda atau Norwegia pemilik kapal makin bertambah.
Pada kasus Belanda dan Norwegia, pemerintah kedua negara hanya mensyaratkan kepemilikan saham hingga 51 persen pada perusahaan yang kapalnya akan mengibarkan bendera Belanda atau Norwegia. Untuk mengikuti langkah yang telah diambil oleh kedua negara tersebut, Indonesia perlu segera menata ulang aturan perpajakan dan kepastian hukumnya agar para pemilik kapal mau mendaftarkan kebangsaan kapalnya dengan bendera Indonesia.
Sebetulnya Inpres No. 5/2005 memberikan peluang untuk menjalankan kebijakan open registry. Menteri-menteri terkait tinggal mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Pilihan menerapkan open registry perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Pasalnya, peluangnya terbuka lebar. Saat ini jumlah kapal di seluruh dunia makin meningkat seiring tingginya pergerakan muatan (freight). Kebanyakan kapal-kapal itu didaftarkan dalam bendera kemudahan (flag of convenience/FOC).
Ada fenomena menarik. Mungkin karena kampanye rutin ITF/International Transport Workers’ Federation (bermarkas di Inggris) menentang keras perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pelaut di atas kapal-kapal FOC di seluruh dunia, mulai muncul keinginan dari sebagian pemilik kapal untuk mengalihkan bendera kapalnya ke kebangsaan lain. Yang termasuk negara FOC, antara lain, Panam, Liberia, Belize. Peluang inilah yang mestinya ditangkap oleh pemerintah dengan menyediakan berbagai kemudahan bagi para pemilik kapal itu. Karena kemudahan sejatinya bukan semata-mata untuk pelaku industri pelayaran saja, sebaiknya momentum menjaring pemilik-pemilik kapal mengganti bendera kapalnya juga dimanfaatkan untuk membenahi sektor lainnya. Bukankah perbaikan di sektor lain itu akan juga memberikan manfaat bagi industri pelayaran nasional
C. PERATURAN INTERNASIONAL
Di kapal itu ada macam-macam standar yang bisa dan/atau harus diaplikasikan baik sejak saat pembuatan maupun pengoperasiannya. Dari sejak kapal didesain pun sudah harus mengacu kepada standar yang ada.
Begitu banyak standar2 yang ada dan apakah sebenarnya keterkaitan antara standar-tersebut dan siapa yang mengeluarkan sertifikat atau surat keterangan bahwa sebuah kapal itu sudah memenuhi ketentuan-ketentuan standar yang ada?
Lalu kapal yang mana yang harus mengacu kepada standar yang mana? Apakah kapal ikan dengan ukuran tertentu harus memenuhi standar yang sama dengan kapal barang, patroli, penumpang, dll?
Di kapal juga ada aspek bentuk lambung, konstruksi, instalasi listrik, instalasi air, peralatan komunikasi dan navigasi, peralatan keselamatan, dll. Standar mana yang mengatur aspek yang mana?
Keadaan setiap daerah pelayaran adalah berbeda-beda untuk setiap negara/lokasi. Apakah setiap negara punya aturan main yang berbeda? Apakah ada standar lokal dan standar internasional? Atau ada aturan baku yang harus dipenuhi oleh semua negara di dunia? Jika ada standar lokal, apakah kalau kapal berstandar lokal boleh berkunjung ke negara lain?kembali menyaksikan kejadian yang menambah panjang daftar kecelakaan kapal di Tanah Air dengan terbaliknya kapal tanker MT Kharisma Selatan di Dermaga Mirah, Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, beberapa waktu lalu. Jika pada kecelakaan-kecelakaan sebelumnya manusia menjadi yang menjadi korban utamanya, kini lingkunganlah yang merana. Namun, dalam setiap kecelakaan laut yang terjadi baik manusia maupun lingkungan sebetulnya sama-sama menderita. Manusia kehilangan nyawa sementara lingkungan tercemari oleh bahan bakar yang bocor dari bangkai kapal. MT Kharisma Selatan telah menumpahkan 500 kiloliter MFO (marine fuel oil) dan pihak-pihak terkait sudah mencoba menanganinya agar tidak menyebar lebih luas lagi. Tapi, apakah semua yang telah dilakukan itu sudah tepat?
D. Beberapa kasus tumpahan minyak di Indonesia
Pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak kapal bukan hal baru di Indonesia. Sebelum MT Kharisma Selatan beberapa kasus tumpahan minyak juga telah terjadi. Setidaknya telah terjadi sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia sejak 1975. Tanker Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak mentah; Choya Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin; Golden Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak tanah. Kemudian, Nagasaki Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah; Maersk Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah; Bandar Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah; Mission Viking, karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah; dan MT Natuna Sea, karam di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah. (Kamaluddin, 2002).
Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap tahun mencemari lautan. Penyebabnya secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak bumi. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh megatif bagi berbagai organisme laut. Pencemaran air laut oleh minyak juga berdampak terhadap beberapa jenis burung. Air yang bercampur minyak itu juga akan mengganggu organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Karamnya tanker Showa Maru telah menurunkan produksi tangkapan ikan di sekitar Selat Malaka dari 27,6 ton pada tahun 1974 menjadi 6,1 ton pada tahun 1975 (Bilal, 1990). Tumpahan minyak juga akan menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut karena diserap oleh minyak dan dipantulkan kembali ke udara.
E. Penanggulangan pencemaran laut di Indonesia
Dari segi prosedur baku yang berlaku, penanggulan tumpahan minyak dari bangkai MT Kharisma Selatan memang sudah cukup. Para petugas telah menggunakan pelampung untuk mencegah minyak tidak meluas yang dikombinasikan dengan penggunaan skimmer (pompa) untuk mengambil kembali minyak yang mengapung. Ini adalah prosedur standar dalam penanggulangan tumpahan minyak. Tapi, yang terlihat sibuk hanya segelintir pihak/instansi dan itupun terkesan sangat sektoral. Inilah potret penanggulangan pencemaran laut di Tanah Air. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut keterlibatan antardepartemen terkait sangat diperlukan sehingga penanganan tumpahan minyak dapat berjalan integratif. Keterlibatan berbagai instansi pemerintah sangat diperlukan karena dampak tumpahan minyak sangatlah luas. Penanggulangan tumpahan minyak dapat dilakukan dengan membentuk semacam badan penyelenggara (executing agency) dari apa yang diistilahkan Badan Usaha Mandiri Penanggulan Tumpahan Minyak atau National Contency plan (NCP). Kita pernah mewacanakan ini tapi tidak ada kabar berita sampai sekarang apakah para pihak yang perhatian dengan masalah pencemaran laut oleh tumpahan minyak sudah membentuk wadah ini atau belum.
Kabar yang agak baik berasal dari Pertamina. BUMN ini telah memiliki 54 sistem Tanggap Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Tier. Tapi pengelolaannya masih bersifat lokal dan pembentukannya baru berdasarkan kebutuhan teknis, belum melalui penilaian (assessment) yang medalam. Dampak dari kondisi yang ada itu tentulah akan terasa bilamana memasuki tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Dalam tahap ini mulai dihitung kerugian yang diderita oleh semua pihak akibat pencemaran yang terjadi. Juga, akan dihitung berapa besar kerugian yang harus dibayar oleh pemilik kapal sesuai aturan internasional yang berlaku. Dari penanganan kasus tumpahan minyak MT Kharisma Selatan belum terlihat langkah-langkah yang telah dipersiapkan oleh para pihak untuk tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Terutama, memperkirakan dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kehidupan ekonomi masyarakat yang tergantung pada lautan di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas. Padahal, semestinya semua langkah harus berjalan simultan.